ARTIKEL TURBINFESS
Mengenal Dampak Pemakaian EBT
Pembahasan
Dampak Positif
1. Energi terbarukan (Fitri)
Energi surya dikatakan sebagai energi terbarukan karena sumber energinya yaitu matahari tidak akan pernah habis. Selain itu, dalam pengoperasiannya energi surya tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti pada energi fosil, sehingga efek-efek pemanasan global dapat teratasi. Oleh sebab itu, energi surya dianggap sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena sumbernya akan selalu tersedia dan dampak yang ditimbulkan tidak terlalu membahayakan sehingga dapat diminimalisir. Indonesia yang merupakan negara tropis memiliki potensi energi surya yang sangat melimpah dan ketersediaannya hampir sepanjang tahun karena letaknya berada di kawasan khatulistiwa yaitu wilayah tengah yang membagi bumi menjadi dua bagian belahan bumi yaitu utara dan selatan (Gunawan dkk., 2019). Menurut Kumara (2010), ditinjau dari peta insolasi matahari, potensi energi listrik surya yang dimiliki wilayah Indonesia yaitu sebesar 4.5 kW/m2 per hari. Tentu merupakan sumber energi yang sangat potensial diterapkan apabila mengingat banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dari pembangkit listrik berbahan energi fosil. Terlebih lagi, pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan telah menargetkan pemanfaatan energi baru terbarukan pada tahun 2025 sebesar 25%. Pemanfaatan energi surya ini merupakan solusi atas banyaknya permasalahan yang berdampak pada kondisi lingkungan.
2. Mengurangi Ketergantungan terhadap Energi Fosil (Hasea)
Pasokan energi surya tersedia dengan kuantitas yang sangat besar. Jika kita dapat memanfaatkan semua energi sinar matahari yang menyinari bumi hanya untuk satu jam, kita dapat menggunakan energi itu untuk memberi daya pada seluruh dunia selama setahun penuh. Sinar matahari yang tersedia dan digunakan dalam produksi energi matahari didapat secara gratis dengan jumlah yang tidak terbatas untuk skala kehidupan
manusia. Di sisi lain, bahan bakar fosil menipis dengan semakin cepat. Mengurangi ketergantungan kita pada sumber daya terbatas dengan memanfaatkan sumber energi gratis yang berlimpah, seperti sinar matahari, dapat berarti menurunkan harga energi, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan masa depan energi yang lebih kuat dan lebih stabil.
3. Membuka lapangan pekerjaan (Gustav)
Lapangan pekerjaan merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk bisa bertahan hidup dan menumbuhkan perekonomian, sementara lapangan pekerjaan yang semakin sedikit akan meningkatkan angka pengangguran ditambah lagi datangnya angkatan kerja baru akan membuat kompetisi semakin ketat. Pemanfaatan Sumber Energi terbarukan digadang-gadang dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang baru, salah satunya dengan memanfaatkan tenaga surya. Pemerintah dapat memulai pengembangan energi surya dengan mengeluarkan kebijakan yang menghilangkan disinsentif bagi energi terbarukan. Berdasarkan proyeksi dari studi oleh Greenpeace East Asia dan GreenID mengenai Indonesia, karena kondisi konsumsi listrik turun dan kondisi over capacity yang terjadi saat ini, pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara realistis baru akan mulai kembali pada tahun 2025. Apabila Pemerintah fokus pada pengembangannya untuk mencapai 50% bauran energi terbarukan yang sejalan dengan target 1,5°C oleh IPCC, maka pada tahun 2027 Indonesia dapat menyalip Vietnam dan menciptakan sekitar 120.000 pekerjaan di bidang energi surya pada tahun 2030. Angka ini hanya memperhitungkan lapangan pekerjaan dari tenaga surya skala pembangkit dan belum mencakup dari panel atap surya yang angkanya akan jauh lebih tinggi. Selain itu, 2 perusahaan besar yang bergerak di bidang photovoltaic (PV) yaitu PT. Elangperdana Tyre Industry dan Cleantech Solar sudah melakukan Kerjasama untuk proyek energi tenaga surya sebesar 4,5 MW. Melihat dari potensinya diperkirakan akan menyerap banyak tenaga kerja baru sehingga bisa mengurangi jumlah pengangguran.
Dampak Negatif
1. Sampah Panel Surya (Giga)
Seperti yang kita ketahui, sisi positif dari tenaga surya adalah dalam pengubahan energi sinar matahari menjadi listrik, panel surya tidak menghasilkan emisi karbon yang bermakna bahkan bisa dibilang tidak ada. Namun, semua hal pasti memiliki sisi positif serta negatifnya. Sisi negatif dari panel surya inilah yang jarang terekspos di media massa. Hal ini terjadi karena kini, kita baru saja memulai pengembangan pengolahan energi surya dan kita belum mendapatkan imbasnya secara langsung. Apabila kita tidak mengetahui dampak negatif dari panel surya dan tidak membuat sebuah antisipasi mulai dari kini, mungkin anak dan cucu kita akan terkena imbas dari ulah kita sendiri.
Salah satu dampak negatif dari panel surya adalah munculnya limbah baru, yaitu limbah panel surya. Menurut Jordan dan Kurtz (2012), panel surya memiliki rata-rata nilai degradasi sebesar 0,5% hingga 0,8% per tahun. Jika kita asumsikan itu adalah nilai degradasi panel surya dengan kondisi yang ideal serta perawatan yang baik, banyak pihak akan melakukan penggantian panel surya sekitar 25 - 30 tahun karena efisiensi panel surya mulai berkurang. Namun, bagaimana jika dalam perawatannya tidak baik? Tentu saja nilai degradasi tersebut akan semakin meningkat, dan angka harapan umur panel surya pun akan semakin pendek. Tentu hal ini akan membuat makin banyak panel surya yang akan dicap sebagai “tidak layak” dan akan terjadi pembuangan panel surya. Jika terjadi ledakan limbah silikon karena panel surya yang tidak layak, tentu akan menjadi sebuah masalah tersendiri bagi masyarakat.
Sebenarnya, hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah asalkan panel surya tidak mengalami kerusakan fisik yang berarti dan produsen panel surya mau menerima kembali komponen-komponen panel surya yang sudah dibongkar untuk didaur ulang. Jika hal ini tidak dilakukan, tentu limbah panel surya berupa silikon serta kerangka aluminum akan menjadi tambahan limbah yang tertimbun di sebuah penampungan sampah.
2. Panel Surya terbuat dari beberapa Bahan Berbahaya (Fatimah Az Zahra) Panel surya memiliki 3 generasi yaitu pertama, panel surya yang terbuat dari silikon kristal tunggal (monokristal) dan silikon kristal banyak (polikristal). Kedua, panel surya yang terbuat dari silikon tipe lapis tipis (thin film) dan yang ketiga panel surya organik atau panel surya fotoelektrokimia atau Dye Sensitized Solar-Cell (DSSC). Panel surya
merupakan sumber energi alternatif dengan memanfaatkan energi cahaya matahari yang dikonversi menjadi energi listrik. Proses konversi didasarkan pada efek fotovoltaik. Bahan yang digunakan dalam pembuatan panel surya terbuat dari beberapa bahan yang tidak ramah lingkungan seperti material silicon (Setiawan dkk, 2020). Menurut Mulyani dan Astuti (2014), panel surya berbasis silikon memiliki kekurangan diantaranya menggunakan silikon murni. Fabrikasi panel surya berbasis silikon memerlukan biaya yang mahal dalam bahan bakunya dan juga memakai bahan kimia yang berbahaya. Bahan bahan dalam panel surya seperti polysilicon apabila telah dibuang ke lingkungan akan menghasilkan silikon tetraklorida yang bersifat racun. Panel surya lapisan tipis juga dibuat dari bahan semikonduktor lainnya seperti Cadmium Telluride (Cd Te) dan Copper Indium Gallium Selenide (CIGS) yang mana apabila atap yang dipasang panel surya CdTe terbakar maka unsur cadmium ini akan menimbulkan polusi yang berbahaya bagi lingkungan. Pembuatan panel surya juga menggunakan nitrogen tetrafluoride yang merupakan gas rumah kaca yang berbahaya bagi ozon. Komponen-komponen pada panel surya merupakan logam yang harus ditambang dimana semakin banyak kebutuhan panel surya berarti semakin banyak penambangan logam yang harus dilakukan. Kegiatan penambangan ini dapat menimbulkan kerusakan lingkungan walaupun dapat diatasi dengan kegiatan reklamasi dan reboisasi pasca-tambang.
3. Membutuhkan Lahan yg Luas (Fatimah Sahara)
Dalam memenuhi kebutuhan listrik yang tergolong kecil, seperti listrik rumah tangga tidak membutuhkan lahan yang luas. Di sisi lain, mengumpulkan energi listrik dari cahaya matahari yang banyak dibutuhkan media berupa panel surya yang banyak. Oleh karena itu, luas suatu lahan penting dalam hal ini. Lahan yang luas dapat menampung cahaya dari matahari yang terserap oleh panel surya dalam jumlah yang besar. Menurut penelitian David Firnando, pemasangan tenaga surya untuk memenuhi target Indonesia yang mencapai 1,500 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya pada 2050 akan membutuhkan setidaknya 8.000 kilometer persegi atau sekitar 0,4% lahan. David Firnando merupakan penerima beasiswa pendidikan Indonesia LPDP RI 2018 dengan studi PhD pada Research School of Electrical, Energy, and Material Engineering, The
Australian National University. Sementa itu, Prasetyo dkk.(2020) mengatakan bahwa diperlukan pembuatan PLTS skala kecil yang tersebar dalam mengatasi permasalahan luas lahan tersebut. Instalasi Solar photovoltaic (pv) umumnya berskala kecil. Penerangan jalan umum, traffic light, dan mulai sekarang berkembang dipasang di atas atap disebut sebagai "rooftop pv system" merupakan penerapan penggunaan dari solar pv berskala kecil. Energi listrik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan energi listrik secara mandiri dan juga dapat dihubungkan dengan jala-jala system yang lebih besar, yaitu pada system 1 phasa maupun system 3 phasa pada system distribusi. Kemampuan untuk menghasilkan energi listrik suatu rooftop pv system bergantung pada luas atap perumahan. Semakin luas atapnya tentunya semakin besar daya tampung modul panel surya, sehingga energi listrik yang dihasilkan relatif besar (Prasetyo dkk,2020).
Kesimpulan (Hafiza)
Energi surya sepertinya mampu menjadi salah satu alternatif energi. Salah satu alasannya adalah karena energi surya ini memiliki potensi yang besar dan tidak terbatas dan dinilai lebih ramah lingkungan daripada energi fosil. Pemanfaatan energi terbarukan juga akan membuka lapangan kerja yang luas untuk berbagai bidang. Namun, ada beberapa sisi negatif dari penggunaan energi surya karena pemanfaatannya membutuhkan panel surya. Panel surya dibuat dengan beberapa bahan yang kurang ramah lingkungan, dan diperkirakan akan menghasilkan limbah panel surya apabila komponen-komponennya tidak mampu dimanfaatkan dengan baik. Energi surya juga kurang efektif karena membutuhkan lahan yang cukup luas untuk pemasangan panel surya. Ketika menilai suatu hal, pasti akan selalu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Kedua hal tersebut bisa dijadikan pertimbangan agar tidak hanya fokus pada keuntungan dan kelebihannya saja, tetapi juga kemungkinan adanya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemanfaatan energi surya sebagai salah satu alternatif energi nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, N. S., Kumara, I. N. S., & R. Irawati.2019. Unjuk kerja pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 26, 4 kWp pada sistem smart microgrid UNUD. Jurnal SPEKTRUM, 6(3): 1-9. Kumara, N. S. Pembangkit Listrik Tenaga Surya Skala Rumah Tangga Urban Dan Ketersediannya di Indonesia. Teknologi Elektro, 9(1): 68-75.
Setiawan, D. Eteruddin, H. Siswati, L. 2020. Sistem pembangkit listrik tenaga surya untuk tanaman hidroponik. Jurnal Teknik, 14(2): 208-215.
Mulyani, Okti. Astuti . 2014. Sintesis sel surya tersensitisasi pewarna (sstp) ekstrak antosianin buah delima (punica granatum) dengan metode sol-gel-spin coating. Jurnal Fisika Unand, 3(2): 84-89.
Ardiansyah, W. (2020, 12 Juli). Panel surya melihat sisi positif dan negatif dari sang energi alternatif. Diakses pada 10 Mei 2021, dari https://duniatambang.co.id/Berita/read/1390/Panel Surya-Melihat-Sisi-Positif-dan-Negatif-dari-Sang-Energi-Alternatif.
Greeneace.org. (2020, 2 Juli). Pembukaan Lapangan Kerja di Sektor Energi Terbarukan: Solusi Menuju ‘Better Normal’. Diakses pada 10 Mei 2021, dari https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/5277/pembukaan-lapangan-kerja-di sektor-energi-terbarukan-solusi-menuju-better-normal/
Anon, 2020. 5 Advantages of Solar Energy on the Environment. ZEN Energy. Available at: https://www.zenenergy.com.au/blog/five-advantages-of-solar-energy-on-the environment/#:~:text=Using%20the%20sun%20to%20generate,fossil%20fuels%20into%20our% 20air. [Accessed May 10, 2021].
Prasetyo BE,Ananto RA,dan Hakim L.2020. Analisis Rooftop Photovoltaic System Terhubung Grid pada Sistem Distribusi 20 kV.Prosiding Seminar Nasional Teknologi Elektro Terapan,4 : 48-52.
Jordan, D.C. dan S. R. Kurtz. (2011). Photovoltaic degradation rates — An analytical review. Progress in Photovoltaics: Research and Applications, 21(1), 12-29.
Comments
Post a Comment